Essay : Falsafah "Maja Labo Dahu" Suku Mbojo, Bima-NTB
FALSAFAH “MAJA LABO DAHU” SUKU MBOJO DALAM MENGATASI
DEGRADASI MORAL PEMUDA AKIBAT DAMPAK NEGATIF MEDIA SOSIAL DI ERA DIGITAL
Ayu Nur Islami Pendidikan Bahasa Arab IAIN Salatiga
Indonesia adalah negara yang kaya akan
pulau, suku, budaya, dan kekhasan yang unik dan beragam. Para sesepuh dan nenek
moyang kita dahulu hidup dengan aturan budaya yang mengikat, yaitu falsafah
kehidupan. Indonesia memiliki suku yang berpegang pada falsafah kehidupan yang
begitu khas dan sarat akan makna religius. Sebagai contoh, masyarakat Jawa
mempunyai falsafah hanacaraka. Hanacaraka merupakan rangkaian huruf di dalam carakan jawa yaitu suatu
ungkapan filosofis yang berlaku universal, sangat dalam artinya, membawa kita tunduk
dan takwa kepada Tuhan (Sarodjo, 1982). Begitu pula dengan masyarakat
suku Mbojo yang kental akan falsafah Maja Labo Dahu. Secara harfiah Maja
artinya “malu”, Labo artinya “dan”, Dahu artinya “takut”, sehingga
jika digabungkan bermakna “malu dan takut”.
Maja (malu) bermakna bahwa masyarakat Bima pada masa pemeritahan Sultan
Muhammad Salahuddin (1917-1951 M) akan malu ketika melakukan sesuatu di luar koridor
Tuhan, baik itu kejahatan, perbuatan dosa dan lain sebagainya yang berhubungan
dengan manusia ataupun terhadap Tuhannya. Dahu (takut), hampir memiliki
interpretasi yang sama dengan kata maja, yaitu sama-sama takut ketika
melakukan sesuatu kejahatan ataupun keburukan. Sebagai tambahan bahwa masyarakat
suku Mbojo Bima pada masa pemeritahan Sultan Muhammad Salahuddin akan malu dan
takut pulang ke kampung halaman mereka ketika mereka belum berhasil di tanah
rantauan. Jika kita telusuri berdasarkan sejarahnya, falsafah hidup ini sudah
digaungkan sejak zaman kerajaan dulu. Sehingga masyarakat suku Mbojo Bima pada
masa pemeritahan Sultan Muhammad Salahuddin (1917-1951 M) sudah mengenakan rimpu
(pakaian menutup aurat khas suku Mbojo-Bima) bagi kaum wanita dan mereka sangat
menjaga harga diri mereka bahkan mereka sangat takut memperlihatkan bagian
tubuh ataupun wajah mereka terhadap laki-laki (Mubin & Hikmah, 2018: 58).
Demikianlah
betapa hebatnya para leluhur kita yang sangat menjaga dan berpegang teguh pada
falsafah kehidupan sehingga falsafah itu menjadi sebuah budaya yang
dipertahankan. Namun, kehidupan kita di abad ke-21 ini nampaknya sangat jauh
berbeda dengan falsafah yang pernah dimiliki oleh leluhur kita. Para pemuda
milenial lebih bangga jika dapat meniru kebudayaan baru yang lahir akibat perkembangan
teknologi yang begitu cepat. Mobilitas dan perkembangan teknologi menjadikan
manusia mengalami daur hidup yang semakin canggih dan serba mudah. Jika
orang-orang dahulu mengirim pesan
melalui surat, maka di era digital ini kita tidak perlu lagi repot-repot
menulis dan mengirimkannya melalui pos, hanya dengan menggunakan gawai dan
bermodal kuota internet kita sudah bisa
mengirim pesan kepada sanak keluarga dan teman bahkan dunia berada dalam
genggaman kita. Kita dapat mengetahui informasi belahan bumi mana saja, bahkan
masing-masing dari kita dapat menjadi pelapor dan penyedia berita dengan bebas.
Tanpa disadari posting-an story media sosial kita akan dapat
dilihat dan menjadi informasi bagi orang lain tentang apa yang sedang kita
alami.
Kemudahan dan kebebasan untuk
mengakses segala sesuatu di era digital ini, tanpa disadari sedikit demi
sedikit mulai menggerus dan mengikis karakter bangsa. Gawai dan media sosial
yang seharusnya menjadi sarana komunikasi untuk mendekatkan sanak kerabat yang
jauh, justru menjadi boomerang bagi orang yang ada di sekitar kita. Ya,
apalagi jika bukan mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Bahkan
waktu yang seharusnya banyak kita isi dengan hal-hal bermanfaat kini hanya kita
relakan untuk sekedar mengetahui keadaan seseorang. Ya, apalagi jika bukan scroll
up scrooll down dan stalking Instagram, Facebook, WhatsApp, Twitter, bahkan
drama korea yang sama rela kita tonton berkali-kali. Tidakkah ada rasa rugi
pada diri? Rugi karena sebenarnya kita sedang menjadi korban penipuan dari
kebebasan era digital ini. Kualitas mesin hidup semakin canggih, sementara
kualitas diri semakin tertinggal dan terbelakang.
Media
sosial pada era digital ini, menjadi sarana yang paling banyak digunakan dan dianggap
multifungsi. Sebagaimana dilansir dari tribunnews.com (Arifin,
2019) bahwa pengguna media sosial di Indonesia tercatat menduduki peringkat
keempat terbesar di dunia setelah India, Amerika Serikat dan Brazil. India
merupakan pengguna media sosial terbesar di dunia dengan total pengguna
mencapai 290 juta, disusul Amerika Serikat sebanyak 190 juta pengguna.
Kemudian, Brazil di peringkat ketiga dengan total pengguna 120 juta atau
57.06 % dari total populasi dan Indonesia dengan total pengguna 120 juta
atau 44.94% dari total populasi.
Media
sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter, WhatsApp dan Youtube sudah
tidak asing lagi bagi para pemuda milenial di era digital ini. Selain digunakan
sebagai sarana komunikasi dan pengungkap ekspresi, media sosial ini juga
menjadi sarana dalam memasarkan dan mempromosikan bisnis dan usaha yang tengah
dijalani, karena pada dasarnya apa saja yang kita sebarkan pasti diniatkan agar
bisa dilihat dan diketahui oleh orang lain. Namun, tidak jarang juga media
sosial ini menjadi sumber timbulnya permusuhan antar sesama. Alih-alih
mengedepankan kebebasan berekspresi, banyak orang menjadi tidak lagi memikirkan
dampak dari apa yang dilakukannya dan juga tidak lagi mementingkan rasa humanisme.
Kebebasan untuk menyebarkan berita, berkomentar dan mengkritik menjadi salah
satu dampak negatif yang ditimbulkan oleh media sosial, sehingga muncullah yang
disebut dengan haters. Bahkan hanya demi konten viral, seseorang rela
berpura-pura menjadi orang yang tidak normal serta tidak lagi mementingkan
martabat dan harga dirinya.
Selain
media sosial, aplikasi yang tidak kalah digemari oleh para pemuda milenial pada
era digital ini adalah aplikasi Tik Tok. Aplikasi Tik Tok dijadikan
sebagai ajang eksistensi diri untuk ditunjukkan kepada orang lain dengan
berbagai efek musik, stiker, serta gambar tiga dimensi lainnya (Chusna dkk, 2020).
Banyak kalangan yang telah menggunakan aplikasi ini sebagai sarana untuk
menghibur diri, namun mereka lupa akan harga diri. Menurut Chusna (2020),
secara tidak langsung salah satu dampak aplikasi Tik Tok adalah menyebabkan
generasi untuk suka bergoyang ria di mana dalam bergoyang ada yang biasa, luar
biasa, bahkan keterlaluan, dan menjadi sering aktif di Instagram membuat
orang lain dapat melihat apa yang kita bagikan.
Kecanggihan
yang diiringi dengan kebebasan pada era digital ini nampaknya telah menggerus nilai-nilai
budi luhur yang dibangun pada falsafah kehidupan zaman dahulu. Betapa sangat
menyayangkan jika kita mampu hidup canggih, namun tidak sedikitpun kecanggihan
yang kita miliki dibarengi dengan jiwa yang mencerminkan bangsa Indonesia yang
beradab dan berkarakter. Benarlah jika masyarakat suku Mbojo menjadikan
falsafah Maja Labo Dahu sebagai tameng diri dari berbagai sikap buruk
dan bermudah-mudahan menjatuhkan martabat dan harga diri sendiri. Sikap malu
dan takut merupakan dua sikap dasar yang mampu mengekang diri dari hal-hal
buruk. Seandainya kita punya rasa malu jika perbuatan buruk kita dilihat oleh
orang lain maka pastilah kita akan menyembunyikannya dari orang lain dan pada
akhirnya kita tidak akan melakukannya. Begitu juga dengan sikap takut, jika
kita takut bahwa perbuatan buruk kita merupakan pelanggaran terhadap norma
agama pasti kita tidak akan melakukannya.
Maka
betapa dalamnya falsafah masyarakat suku Mbojo yang menerapkan falsafah Maja
Labo Dahu sebagai pegangan hidupnya. Perihal ini juga sebenarnya telah
digaungkan oleh syariat Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إن مما أدرك الناس من كلام النبوة [الأولى/1316]:
إذا لم تستحي فاصنع ما شئت
“Sesungguhnya di antara kalimat kenabian
pertama yang sampai ke tengah-tengah manusia adalah: ‘Jika engkau tidak malu,
berbuatlah semaumu’.”(Hadits shahih riwayat
Bukhari).
Begitu juga firman Allah yang
memberikan kebebasan untuk berbuat apa saja, namun kemudian mengiringinya
dengan peringatan bahwa Dia Maha Melihat semua perbuatan yang kita lakukan. Hal
ini berarti kita seharusnya memikirkan matang-matang sebelum berbuat sesuatu,
apakah boleh dilakukan atau justru dilarang.
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Perbuatlah
apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Fusshilat: 40).
Demikian juga dengan nilai-nilai
butir pancasila yang sarat akan nilai moral. Sila pertama diusung dengan
keyakinan kita terhadap Tuhan. Ini berarti ada aturan-aturan dan norma agama
yang harus kita taati. Sila kedua, menuntut kita agar menjadi manusia yang adil
dan beradab, tidak semena-mena terhadap sesama. Sila ketiga, menuntut kita agar
selalu menjaga kerukunan dan perdamaian, menghargai dan toleransi satu sama
lain, dan tidak membuat kegaduhan yang dapat memecah persatuan dan keutuhan
bangsa. Demikianlah Indonesia, betapa kaya akan budaya dan budi pekerti luhur
yang seharusnya patut dijaga dan dilestarikan oleh generasi-generasi
selanjutnya.
Trend media sosial dan aplikasi di era digital memang tidak bisa kita hindari dan tidak mutlak dilarang penggunaannya, segala sesuatu pasti selalu membawa dampak postif dan negatif. Sebagai pemuda bangsa Indonesia, negara yang kaya akan nilai-nilai falsafah bangsa, sudah seharusnya kita sadar dan kembali pada falsafah budaya terdahulu dari bangsa kita. Falsafah Maja Labo Dahu dan falsafah budaya lainnya seharusnya digaungkan kembali kepada bangsa Indonesia terutama bagi para pemuda pemegang tonggak penerus bangsa agar mejadi bangsa yang tidak hanya canggih dan maju dari segi teknologi tetapi juga beradab dan berkarakter dari segi moral.
Referensi
Al-Qur’an
Al-Karim Surah Fusshilat: 40
Arifin. 2019. Pengguna
Sosial Media di Indonesia Terbesar Keempat di Dunia. Diakses di https://www.tribunnews.com/techno/2019/06/19/pengguna-sosial-media-di-indonesia-terbesar-keempat-di-dunia?page=2
Chusna, Puji
Asmaul dkk. 2020. Analisis Dampak Fenomena Aplikasi Tik Tok Dan Music Dj
Remix Terhadap Penyimpangan Perilaku Sosial Pada Anak Usia Sekolah Dasar.
Blitar: STIT Al-Muslihuun.
Haryanto, Didi.
2016. Makna Falsafah Maja Labo Dahu dalam Culture Masyarakat Bima.
Diakses di http://www.mbojoklopedia.com/2016/10/makna-falsafah-maja-labo-dahu
Ismail. 2014. Arti
Makna dari Huruf Jawa Hanacaraka. Diakses https://coretan-hampa.blogspot.com/2014/09/makna-huruf-hanacaraka.html
Mubin, Ilmiawan
& Hikmah. 2018. Makna Filosofis Maja Labo Dahu dan Pengaruhnya Terhadap
Karakter Masyarakat Bima pada Masa Pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin
1917-1951. Mataram: Universitas Muhammadiyah Mataram.
Tuasikal,
Muhammad Abduh. 2011. Keutamaan sifat Malu. Diakses di https://rumaysho.com/1729-keutamaan-sifat-malu.html
Komentar
Posting Komentar