Makalah Ilmu Dilalah Wal Ma'ajim
Pembagian
Makna dan Problematikanya/ تعدد المعنى و مشكلاته
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Ilmu Dilalah Wal Ma’ajim
Dosen Pengampu: Rina Asih Handayani,
M.Pd.I
Disusun oleh:
Kelompok VI
M. Ni’am
Syukri (23020170039)
Agus Widiyanto (23020170055)
Ayu Nur Islami (23020170047)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala,
karena dengan rahmat,
karunia, taufik danhidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Ilmu
Dilalah Wal Ma’ajim tentang “تعدد المعنى و
مشكلاته /Pembagian Makna
dan Problematikanya” dengan tepat waktu.
Makalah ini berisi tentang berbagai macam kata ditinjau dari makna
yang ditunjukkannya dan permasalahan-permasalahan yang terkait dengan makna. Makalah
ini disusun secara padat dan rinci agar mudah dipahami. Tidak lupa pula kami
ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu penyusunan makalah ini,
terlebih kepada Ibu dosen pengampu mata kuliah Ilmu Dilalah Wal Ma’ajim, Ibu
Rina Asih Handayani, M.Pd.I.
Dalam penyusunan makalah ini, tentunya masih terdapat banyak
kekurangan, maka dari itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua, khususnya kita sebagai mahasiswa program studi Pendidikan
Bahasa Arab.
Salatiga, 8 April 2019
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
Sampul………………...……………………………………i
Kata
Pengantar……………………………………………………….ii
Daftar
Isi……………………………………………………………..iii
Bab I Pendahuluan
A. Latar
Belakang…………………………………………………...1
B. Rumusan
Masalah………………………………………………..1
C. Tujuan
Penulisan…………………………………………………1
Bab II Pembahasan
A. Makna Berdasarkan
Lafadznya……………...…………………..2
B. Pembagian Makna
Berdasarkan Relasinya…...……...….……….3
C. Problematika dalam
Makna…………………………….……......6
Bab III Penutup
A. Kesimpulan……………………………………………………...9
B. Saran ……………………………………………………………9
Daftar
Pustaka………………………………………………………10
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam pemaknaan suatu kata terkadang
mempunyai banyak makna yang terkandung dalam kata tersebut. Untuk mengetahui
makna yang tepat tentang kata tersebut perlu diperhatikan cara-cara yang tepat
untuk memaknainya.
Makalah ” تعدد المعنى و مشكلاته" ini mencoba menjelaskan
bagaimana dan macam-macam masalah yang terkandung dari makna suatu kata. Contoh
dalam bahasa Indonesia sendiri seperti pemaknaan nasi, padi, dan gabah yang
dalam bahasa arab tetap satu yaitu الرزّ.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pembagian
makna berdasarkan lafadznya?
2.
Bagaimana pembagian
makna berdasarkan relasinya?
3.
Apa saja problematika
yang ada dalam pemaknaan suatu lafadz?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui pembagian makna
berdasarkan lafadznya.
2.
Mengetahui pembagian makna
berdasarkan relasi makna.
3.
Mengetahui problematika
yang ada dalam pemaknaan suatu lafadz.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna
Berdasarkan Lafadznya
Lafadz bahasa jika ditinjau dari maknanya dapat dibagi menjadi tiga jenis,
yaitu:
1. Monosemi/Al-Mutabayan
(المتباين)
المتبباين هو أكثر اللغة،
و ذلك أن يدل اللفظ الواحد على معنى واحد[1]
Monosemi adalah lafadz yang paling banyak ditemukan
dalam bahasa, yaitu satu lafadz yang menunjukkan pada satu makna/arti. Contohnya: تفّاح (apel), أرض (bumi), قمر (bulan), شمس (matahari) dan lafadz lain yang maknanya
hanya menunjukkan pada satu objek.
2. Homonim/Al-Musytarak
Al-Lafdzhi (المشترك اللفظي)
المشترك اللفظي هو أن يدل
اللفظ الواحد على أكثر من معنى[2]
Homonim
adalah satu lafadz menunjukkan pada banyak makna/arti. Contonya: أمّ bisa bermakna ibu, wanita yang sudah menikah,
atau wanita paruh baya, dan lafadz-lafadz lain yang mengandung lebih dari satu
makna.
3. Sinonim/Al-Mutaradif (المترادف)
المترادف هو أن يدل أكثر
من لفظ على معنى واحد[3]
Sinonim adalah beberapa lafadz yang
menunjukkan satu makna/arti. Contohnya: مدرّس ,معلّم , مربّي ,معرّف sama-sama berarti pendidik atau
pengajar.
Adapun homonim dan sinonim adalah termasuk polisemi (ta’addud al-ma’na).
Polisemi (ta’addud al-ma’na) yaitu satu lafadz yang mengandung lebih
dari satu makna. Jika dua makna itu tidak saling berlawanan, maka disebut al-musytarok
al-lafdzi dan jika saling berlawanan, maka disebut al-tadhadh
(antonimi).[4]
B.
Pembagian
Makna Berdasarkan Relasinya
Dalam buku Semantik Bahasa Arab karya Mohammad Kholison Bab Relasi Makna,
kata dalam penunjukkan maknanya dapat diuaraikan menjadi beberapa jenis, antara
lain:
1.
Sinonim
Menurut
terminologi semantik, sinonim adalah kata-kata yang secara fonologis berbeda
tetapi memiliki makna yang sama atau mirip. Sinonim dapat menunjukkan pada
makna kata yang sama sesuai dengan ungkapan atau kategori kata. Contohnya: قَرَأَ dan
تَلاَ (antara fi’il dengan fi’il) artinya
membaca, هي dan ها (antara
morfem bebas dan terikat) menunjukkan makna dia perempuan.[5]
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya sinonim, di antaranya:
a.
Pengaruh kosa kata serapan bahasa
asing, misalnya dalam bahasa Arab kontemporer dikenal kata التليفون
(telepon) yang aslinya dari bahasa Eropa dan kata الهاتف
yang merupakan ta’rib (terjemahan ke Arab) sehingga kedua kata itu
dianggap bersinonim.
b.
Pengaruh dialek sosial, misalnya
kata “istri” bersinonim dengan kata “bini”, hanya saja kata istri digunkan dalam
kalangan atas, sedangkan bini dalam kalangan bawah.
c.
Perbedaan dialek regional (lahjah
iqliimiyyah), misalnya سيارة نقل(truk) hanya dikenal di Mesir, sementara di
negara-negara Arab bagian teluk dan Maroko lebih dikenal dengan sebutan شاحنة.
d.
Perbedaan dialek temporal, misalnya
kata الكتّاب bersinonim dengan المدرسة الابتدائية
yang sama-sama berarti sekolah dasar. Akan tetapi istilah الكتّاب
hanya dipakai pada masa lampau.[6]
2.
Antonim
Secara
harfiah, antonim berarti nama lain untuk benda lain pula. Verhaar, yang dikutip
oleh Chaer mendefinisikan antonim sebagai “ungkapan (bisa berupa kata, tetapi
bisa juga berupa frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari
ungkapan lain”. Misalnya kata كبير (besar) berantonim dengan kata صعير
(kecil).[7]
3.
Polisemi
Polisemi
adalah satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang mempunyai makna
lebih dari satu (ganda/lebih dari satu makna). Misalnya, kata بيت contoh poliseminya بيت المال
( kantor perbendaharaan Negara), بيت العنكبوت
(sarang laba-laba), dan lain-lain.[8]
Sebab-sebab
polisemi antara lain:
a.
Perbedaan dialek, misalnya kataالأسد secara umum artinya الذئب
(serigala), tetapi dalam kabilah Hudzail berarti الأسد
(singa).
b.
Majas, misalnya kata الأسد
makna asalnya adalah “hewan buas”, tetapi secara majazi bisa berarti
“keberanian”.
c.
Kaidah sharf, misalnya kata هوى yang bisa berkategori isim dan bisa juga fi’il, menurut Fairus Abadi berarti
ميل النفس الى الشهوة (kecenderungan hawa nafsu).
d.
Bercampurnya bahasa lain, misalnya
kata كلية awalnya kata ini berarti “kegiatan belajar
mengajar yang ada di kampus”, tetapi kemudian kata ini terpengaruh oleh bahasa
Inggris, di mana kata كلية berarti جزء من الجامعة
(bagian dari universitas) sehingga kata كلية
berarti fakultas.
e.
Perkembangan bahasa, misalnya kata الفَرْوَة
yang berasal dari kata الثَّوْرَة dan hasilnya mempunyai dua arti, yakni جلد الرأس
(kulit kepala) dan الغنى (kekayaan).[9]
4.
Homonim
Secara
harfiah, homonim diartikan sebagai nama yang sama untuk sesuatu yang berbeda. Matthews
mendefinisikan homonim sebagai relasi antara kata-kata yang bentuknya sama
namun maknanya berbeda dan tidak bisa dihubungkan. Contohnya dalam surah
Ar-Rum: 55
وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ
يُقْسِمُ الْمُجْرِمُونَ مَا لَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ
“Dan pada hari (ketika)
terjadinya kiamat, orang-orang yang berdosa bersumpah, bahwa mereka
berdiam (dalam kubur) hanya sesaat (saja).”
Ada dua kata yang bergaris bawah
pada ayat di atas. Kata pertama menunjukkan makna “kiamat”, sedangkan kata yang
kedua menunjukkan makna”waktu (sesaat)”. Dari segi fonologis, dua kata tersebut
memiliki kesamaan, namun dari segi makna berbeda. Perbedaan makna dalam
kesamaan fonologis inilah yang disebut homonim.[10]
Sebab-sebab
terjadinya homonim antara lain:
a.
Konvergensi bunyi, yaitu bunyi
pengucapannya sama namun penulisannya berbeda. Contoh: طخا artinya gelap dan طخى dungu.
b.
Divergensi makna, menurut Ullmann
perkembangan makna yang “menyebar” (divergen) juga dapat menimbulkan homonim.
Contohnya: أسكن في البيت الجديد (rumah), أحفظ البيت الثاني
(bait syair).
c.
Pengaruh asing. Banyaknya kata
asing yang menyebar pada suatu bahasa sangat mungkin menimbulkan homonim dalam
bahasa tertentu. Dalam bahasa Indonesia misalnya, kata buku yang berarti “tulang sendi”, menjadi homonim
dengan buku yang berarti “kitab”. [11]
5.
Homofon
Berdasarkan
kata asalnya (homos ‘sama’ dan phone ‘suara/bunyi’), menunjukkan
relasi kata yang pengucapannya sama tetapi tulisannya berbeda dan maknanya
tidak berhubungan. Contoh: نما مالي و نمى زرعي (hartaku
bertambah dan tanamanku bertumbuh).[12]
6.
Homograf
Homograf
terdiri dari kata homo yang
berarti ‘sama’ dan graf (graph)
berarti ‘tulisan’. Homograf ditandai dengan kesamaan tulisan, berbeda bunyi,
dan berbeda makna. Homograf juga bisa diartikan sebagai relasi kata yang
tulisannya sama tetapi pengucapannya berbeda dan maknanya tidak berhubungan.[13]
Hazim
Ali Kamaluddin mencontohkan dua kata yang berkategori homograf pada kalimat
berikut:
هبا الغبارو هبا رماد
نارنا
Perbedaan
kata هبا pada contoh di atas adalah bahwa
pengucapan kata هبا yang pertama dilakukan dengan
meringkas atau memendekkan bacaan fathah panjang, dan bermakna ارتفع
(naik/beterbangan), sedangkan kata هبا yang
kedua diucapkan dengan panjang dan bermakna اختلط بالتراب
(bercampur dengan debu).[14]
7.
Hiponim
Secara
semantik, hiponim adalah semacam relasi antara kata yang berwujud atas-bawah,
atau dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain. Misalnya, setiap
singa itu hewan, tetapi tidak semua hewan itu singa. Hubungan singa terhadap
hewan disebut hiponim, sedangkan hubungan hewan terhadap singa disebut
hipernim.[15]
C.
Problematika
dalam Makna
Adanya beberapa makna dari satu lafadz sering kali menimbulkan ambigu
(makna ganda). Ambiguitas atau yang kerap kita kenal dengan
istilah ketaksaan, adalah kegandaan arti kalimat, sehingga meragukan atau sama
sekali tidak dipahami orang lain (Nanik Setyowati, 2013:85). Sedangakan menurut
Ullmann (dalam pateda 2010: 201) mengatakan “Ambiguity is a linguistic condition
which can arise in a vareity of ways.” Yang artinya bahwa ambiguitas adalah
sebuah keadaan yang mungkin dapat memunculkan berbagai penafsiran.[16]
Sehubungan
dengan penjenisan ambiguitas, Ullman (dalam Pateda 2010 :202) membagi menjadi 3
bentuk utama, yaitu ambiguitas pada tingkat fonetik, tingkat gramatikal, dan
tingkat leksikal.[17]
1.
Ambiguitas Fonetik
Ambiguitas
pada tingkat ini terjadi karena membaurnya bunyi-bunyi bahasa yang diucapkan. Terkadang
bisa saja salah menafsirkan makna suatu kata atau frasa karena saat percakapan
frasa atau kata itu terlalu cepat diucapkan. Misalnya, ungkapan “kapan emas
kawinnya?” dapat ditafsirkan salah apabila kita tidak memperhatikan konteksnya.
Apabila pengucapannya terlalu cepat, hal itu bisa ditafsirkan menjadi kapan
emas kawin (benda) akan diberikan kepada pengantin atau mungkin penafsirannya
ke arah kapan seseorang yang dipanggil mas (kakak laki-laki) tersebut akan
menikah.[18]
2.
Ambiguitas Gramatikal
Ambiguitas
gramatikal muncul ketika terjadinya proses pembentukan satuan kebahasaan baik
dalam tataran morfologi, kata, frasa, kalimat ataupun paragraf dan wacana.
Ambiguitas kata yang disebabkan karena morfologi akan hilang dengan sendirinya
ketika diletakkan dalam konteks kalimat yang benar. Misalnya, kata tidur
setelah mendapat awalan pe- berubah menjadi penidur. ”Penidur”, kata ini dapat
berarti orang yang suka tidur dan dapat juga berarti obat yang menyebabkan
orang tertidur.[19]
3.
Ambiguitas Leksikal
Ambiguitas
atau ketaksaan lesikal merupakan makna lebih dari satu, dapat mengacu pada
benda dan sesuai dengan lingkungan pemakaiannya. Ketakasaan lesikal dapat
dilihat dari dua segi, yakni sebagai berikut.
a.
Polisemi, yaitu suatu kata yang
mempunyai makna lebih dari satu. Contoh:
1)
Husni mempunyai hubungan darah
dengan Hasan.
2)
Tubuhnya berlumuran darah
akibat terjatuh dari sepeda motor.
b.
Homonim, yaitu kata yang penamaan
dan pengucapannya sama, tetapi artinya berbeda. Contoh:
1)
Saya bisa membeli rumah.
(bisa bermakna ‘dapat’).
2)
Pamanku terkena bisa ular
yang mematikan. (bisa bermakna ‘racun’). [20]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Lafadz bahasa jika ditinjau dari maknanya dapat dibagi menjadi
tiga jenis, yaitu: monosemi/al-mutabayan, homonim/al-musytarak
al-lafdzhi, sinonim/al-mutaradif. Sedangkan jika ditinjau dari
relasi antara makna, dapat diuraikan mejadi beberapa jenis antara lain:
sinonim, antonim, polisemi, homonim, homofon, hiponim, homograf.
Beragamnya makna yang dimiliki oleh suatu lafadz dapat menimbulkan
ketaksaan atau ambiguitas (makna ganda). Ambiguitas dapat terjadi pada tingkat
ambiguitas fonetik, gramatikal, dan leksikal.
B.
Saran
Diharapkan dengan adanya makalah ini, kita lebih mengetahui
tentang berbagai macam pembagian makna beserta problematika di dalamnya.
Sehingga dalam percakapan sehari-hari kita dapat menggunakannya dengan tepat
dan sesuai dengan konteks. Apabila dalam makalah ini terdapat kekurangan kami
memohon maaf yang sebesar-besarnya
DAFTAR
PUSTAKA
محمد مختار. علم الدلالة. 2006. جامعة القاهرة
https://tulisanterkini.com/artikel/artikel-ilmiah/11605-ilmu-dilalah
diakses pada 31 Maret 2019 pukul 08:41
Kholison,
Muhammad. 2016. Semantik Bahasa Arab. Sidoarjo: CV. Lisan Arabi
Putrayasa,
I Gusti Ngurah Ketut. 2017. Ketaksaan (Ambiguitas) Dalam Bahasa Indonesia.
Denpasar: FIB Universitas Udayana
Rahman,
Dian Hayati. 2015. Kajian Semantik Ketaksaan Atau Ambiguitas Bahasa
Indonesia. Surakarta: FKIP Universitas Sebelas Maret
[1] محمد مختار. علم الدلالة. 2006. جامعة
القاهرة. ص. 145
[2] Ibid, hlm.
145
[3] Ibid,
hlm. 145
[4]
https://tulisanterkini.com/artikel/artikel-ilmiah/11605-ilmu-dilalah
[5] Muhammad
Kholison. Semantik Bahasa Arab. 2016. Sidoarjo: CV. Lisan Arabi hlm.
224-225
[16]Dian Hayati Rahman. 2015. Kajian Semantik Ketaksaan
Atau Ambiguitas Bahasa Indonesia. Surakarta: FKIP Universitas Sebelas
Maret. hlm. 2
[17] Ibid,
hlm. 6
[18] I Gusti Ngurah
Ketut Putrayasa. 2017. Ketaksaan (Ambiguitas) Dalam Bahasa Indonesia.
Denpasar: FIB Universitas Udayana. hlm 4
[19] Op.Cit,
hlm. 7
Komentar
Posting Komentar