Makalah Mahabbah



Al-Hubb/Mahabbah
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Syaiful Ali, M.Pd.

 
Disusun oleh:
Kelompok 12
Wahyu Nugraha    (23020170042)
Ayu Nur Islami     (23020170047)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2019


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena dengan rahmat, karunia, taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Akhlak Tasawuf tentang “Al-Hubb/Mahabbah” dengan tepat waktu.
Makalah ini berisi tentang pengertian, macam-macam, dasar-dasar serta pentingnya seseorang memiliki al-hubb. Makalah ini disusun secara padat dan rinci agar mudah dipahami. Tidak lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu penyusunan makalah ini, terlebih kepada dosen pengampu mata kuliah Akhlak Tasawuf, bapak Syaiful Ali, M.Pd.
Dalam penyusunan makalah ini, tentunya masih terdapat banyak kekurangan, maka dari itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Salatiga, 7 Mei 2019

                                                                                                          Penyusun











DAFTAR ISI
Halaman Sampul………………...……………………………………i
Kata Pengantar……………………………………………………….ii
Daftar Isi……………………………………………………………..iii
Bab I Pendahuluan
A.    Latar Belakang…………………………………………………...1
B.     Rumusan Masalah………………………………………………..1
C.     Tujuan Penulisan…………………………………………………1
Bab II Pembahasan
A.    Pengertian Mahabbah……………………….…………….……...2
B.     Dasar-dasar Ajaran Mahabbah……………...….………..……….4
C.     Macam-macam Mahabbah………………..……………….…......6
D.    Pentingnya Menanamkan Rasa Cinta pada Allah dan Rasul-Nya..8
Bab III Penutup
A.    Kesimpulan……………………………………………………...11
B.     Saran……………………………………………………….……11
Daftar Pustaka………………………………………………………12








BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang hamba adalah cinta kepada Tuhannya. Dengan adanya rasa cinta maka akan menumbuhkan semangat dalam beribadah. Dengan rasa cinta juga, apapun yang diperintahkan oleh Dzat yang ia cintai maka ia akan semangat dalam melaksanakannya meski di dalam pelaksanannya terdapat banyak konsekuensi yang harus ia terima. Namun, fitrah manusia tidak hanya diberi rasa cinta untuk mencintai Tuhannya. Manusia juga diberi rasa cinta kepada selain hal tersebut, misalnya cinta terhadap keluarga, harta, pekerjaan, dan hal-hal lain yang bahkan dapat menjadikan ia tersesat dan mengabaikan cinta yang seharusnya ditumbuhkan yaitu cinta kepada agama dan Tuhannya.
Rasa cinta kepada sesuatu selain Allah ini bahkan lebih cenderung mendekati syahwat, yaitu hal-hal yang melalaikan bahkan menjerumuskan seseorang kepada jalan keburukan. Maka dalam makalah ini akan dipaparkan bagaimana menumbuhkan rasa cinta (mahabbah) yang sesungguhnya, bagaimana cara mengontrol dan mengarahkan agar cinta yang kita miliki tetap berada dalam koridor syariat islam yang diridhoi oleh Allah sehingga kita tidak dibutakan oleh cinta.
B.     Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud dengan mahabbah?
2.    Apa saja dasar-dasar ajaran mahabbah?
3.    Apa saja macam-macam mahabbah?
4.    Apa urgensi mahabbah?
C.    Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui pengertian mahabbah
2.    Untuk mengetahui dasar-dasar ajaran mahabbah
3.    Untuk mengetahui macam-macam mahabbah
4.    Untuk mengetahui urgensi mahabbah



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Mahabbah
Cinta atau yang dikenal dalam bahasa Arab mahabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan, yang secara bahasa berarti mencintai secara mendalam, kecintaan, atau cinta yang mendalam.[1] Dalam  Al-Mu’jam Al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan, mahabbah (cinta) adalah lawan dari kata al-baghd (benci).[2] Al-mahabbah dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat pengasih atau penyayang.[3] Selain itu, al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja pada pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sunguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak yaitu cinta kepada Tuhan.[4]
Kata mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini, objek mahabbah lebih ditunjukkan kepada Tuhan. Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan di atas, tampaknya ada juga yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhani kepada Tuhan.[5] Jadi, dapat disimpulkan bahwa mahabbah adalah rasa cinta yang dimiliki oleh seseorang yang diwujudkan melalui kasih sayang dan ketulusan, baik dalam lingkup cinta hamba kepada Tuhannya maupun cinta seseorang terhadap siapa dan apapun, lebih khusus lagi, mahabbah dimaksudkan kepada rasa cinta seorang hamba kepada Tuhan melalui pengabdian dan amal-amal yang mengantarkannya untuk sampai kepada cintanya sang Ilahi.


B.     Dasar-dasar Ajaran Mahabbah
Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Al-Quran maupun sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.  Hal ini juga menunjukkan bahwa anjuran untuk memiliki sifat cinta dan kasih sayang tidaklah mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing atau agama lain seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan orientalis. Dasar atau dalil tentang mahabbah antara lain sebagai berikut:
1.      Dasar Syara’
a.    Dalil-dalil dalam Al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:
1)      Surah Al-Baqarah ayat 165
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cinta mereka kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”
2)      Surah Ali ‘Imran ayat 31
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
3)      Surah Al-Maidah ayat 54
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”
b.    Hadits Rasulullah mengenai mahabbah, di antaranya yaitu:
1)   ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُـحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ  أَنْ يَعُوْدَ فِـي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِـي النَّارِ
“Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: pertama, Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; kedua, tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah; ketiga, benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka.”[6]
2)      لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.”[7]
2.      Dasar Filosofis
Dalam mengolaborasikan dasar-dasar filosofis ajaran tentang cinta (mahabbah) ini, Al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya[8], yaitu sebagai berikut:
a.       Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak).
b.      Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan.
c.       Cinta manusia pada dirinya sendiri.

C.    Macam-macam Mahabbah
Pada hakikatnya cinta yang ada dalam diri manusia terbagi menjadi 2 yaitu:
1.    Cinta kategori Ubuddiyah/Penghambaan kepada Allah (Mahabbah Lillah), yaitu cinta yang disertai dengan pengagungan dan perendahan diri kepada Dzat yang disembah.[9] Cinta ini terbagi lagi menjadi dua yaitu, cinta kepada Allah (mahabbatullah) dan cinta seseorang yang selain mencinta Allah ia juga mencintai sesuatu lain dalam hal peribadahan atau syirik (mahabbah ma’allah). (Surah Al-Baqarah ayat 165)
2.    Cinta kategori selain ubuddiyah, yaitu cinta manusia kepada hal-hal yang ia senangi, seperti cinta orang tua kepada anak atau sebaliknya, cinta kepada sahabat, cinta kepada harta, pekerjaan serta cinta kepada sesuatu lain yang dapat membuatnya senang. (Surah Ali ‘Imran ayat 19)
Sedangkan jika dispesifikkan lagi berdasarkan perkara dan masanya, cinta (mahabbah) juga dapat dikategorikan menjadi dua yaitu cinta dunia (hubbu ad-dunya)  yaitu mencintai sesuatu yang berkaitan dengan perkara dunia yang bersifat sementara dan cinta akhirat (hubbu al-akhirah) yaitu cinta sejati yang mendekatkan dan membawa pelakunya kepada jalan kebahagiaan abadi.[10]
Dalam Al-Qur’an, cinta dikategorikan menjadi 8 yaitu:
1.    Mahabbah mawaddah adalah jenis cinta mengebu-gebu dan membara. Orang yang memiliki cinta jenis mawaddah, maunya selalu berdua, enggan berpisah.
2.    Mahabbah rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut, siap berkorban, dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih memperhatikan orang yang dicintainya dibanding diri sendiri. Termasuk dalam cinta rahmah adalah cinta antar orang yang bertalian darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan sebaliknya. Mahabbah rahmah juga biasanya sering dikaitkan dengan mahabbah mawaddah sebagaimana dalam Surah Ar-Rum ayat 21.
3.    Mahabbah mail, adalah jenis cinta yang sangat membara, sehingga menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain cenderung kurang diperhatikan. Cinta jenis mail ini dalam Al-Qur’an disebut dalam konteks orang poligami di mana ketika sedang jatuh cinta kepada yang muda (an tamilu kulla al mail), cenderung mengabaikan kepada yang lama. (Surah An-Nisaa’ ayat 129)
4.    Mahabbah syaghaf, adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil dan memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba) bisa seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir tak menyadari apa yang dilakukan. Al-Qur’an menggunakan term syaghaf ketika mengkisahkan bagaimana cintanya Zulaikha, istri pembesar Mesir kepada bujangnya, Yusuf. (Surah Yusuf ayat 30)
5.    Mahabbah ra’fah, yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan norma-norma kebenaran, misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak tega membangunkannya untuk shalat, membelanya meskipun salah. Al-Qur’an menyebut term ini ketika mengingatkan agar janganlah cinta ra`fah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah, dalam hal ini kasus hukuman bagi pezina (Surah An-Nuur ayat 2)
6.    Mahabbah shobwah, yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilaku penyimpang tanpa sanggup mengelak. Al-Qur’an menyebut term ni ketika mengkisahkan bagaimana Nabi Yusuf berdoa agar dipisahkan dengan Zulaikha yang setiap hari menggodanya. (Surah Yusuf ayat 33)
7.    Mahabbah syauq (rindu). Term ini bukan dari Al-Qur’an tetapi dari hadis yang menafsirkan Al-Qur’an. Dalam surat Al `Ankabut ayat 5 disebutkan bahwa barangsiapa rindu berjumpa Allah pasti waktunya akan tiba. Kalimat kerinduan ini kemudian diungkapkan dalam doa ma’tsur dari hadis riwayat Ahmad; wa as’aluka ladzzata an nadzori ila wajhikawa as syauqa ila liqa’ika (aku mohon dapat merasakan nikmatnya memandang wajah Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa dengan Mu).
8.    Mahabbah kulfah, yakni perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-hal yang positif meski sulit, seperti orang tua yang menyuruh anaknya menyapu, membersihkan kamar sendiri, meski ada pembantu. Jenis cinta ini disebut Al-Qur’an ketika menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya, laayukallifullahu nafsan illa wus`aha (Surah Al-Baqarah ayat 286)[11].

D.    Pentingnya Menanamkan Cinta Kepada Allah dan Rasul-Nya
Manusia boleh saja mencintai semua hal yang ia sukai, akan tetapi ada cinta yang harus diutamakan dibandingkan dengan hal lainnya, yaitu cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam surah At-Taubah ayat 24:
قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24).
Ibnu Katsir mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4/124). Ancaman keras inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasul dari makhluk lainnya adalah wajib. Bahkan tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan pada nabinya. ‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memegang tangan Umar bin Khaththab radiyallahu ’anhu. Lalu Umar radhiyallahu ’anhu berkata, لأنت أحب إلي من كل شيء إلا من نفسي ”Ya Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, لا والذي نفسي بيده حتى أكون أحب إليك من نفسك ”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata,  فإنه الآن والله لأنت أحب إلي من نفسي ”Sekarang, demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, الآن يا عمر ”Saat ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).” (HR. Bukhari) [Bukhari: 86-Kitabul Iman wan Nudzur, Bab Bagaimana Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersumpah].
Al-Bukhari membawakan dalam kitabnya: Bab “Mencintai Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam adalah bagian dari iman”. An-Nawawi membawakan dalam Shahih Muslim: Bab-Wajibnya Mencintai Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam lebih dari kecintaan pada keluarga, anak, orang tua, dan manusia seluruhnya”. Dalam bab tersebut, Anas bin Malik mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Salah seorang di antara kalian tidak akan beriman sampai aku lebih dia cintai daripada anaknya, orang tuanya bahkan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim). [12]
Perkara cinta sangat penting ditanamkan dalam diri manusia, karena cinta juga merupakan salah satu hal yang membawa manusia kepada kebahagiaan di akhirat kelak. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dibawakan oleh imam Al-Bukhari dalam kitab shahihya, yaitu salah satunya dalam kitab Al-Adab, Bab ‘Alamatil Hubbi fillah (Bab tentang indikasi cinta kepada Allah)
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَتَى السَّاعَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَعْدَدْتَ لَهَا قَالَ مَا أَعْدَدْتُ لَهَا مِنْ كَثِيرِ صَلَاةٍ وَلَا صَوْمٍ وَلَا صَدَقَةٍ وَلَكِنِّي أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ قَالَ أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu bahwa ada seorang lelaki mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya, “Wahai Rasulullah! Kapankah hari kiamat itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menyambut kedatangannya?” Orang itu menjawab, “Untuk menyambutnya, saya tidak menyiapkan shalat yang banyak, tidak juga puasa yang banyak serta tidak sedekah yang banyak, akan tetapi saya mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersada, “Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.”[13]
Dengan adanya hadits ini, hendaknya menambah semangat dan kegembiraan bagi kita, karena dengan rasa cinta saja dapat mengantar kita untuk bisa berkumpul bersama orang yang kita cintai. Namun, hal ini bukan berarti menghilangkan esensi kewajiban beribadah lainnya, hal ini adalah salah satu poin plus bagi kita. Maka sudah seharusnya seorang muslim menanamkan kecintaan terhadap Rasulullah, sahabat serta generasi setelahnya yaitu dengan dibarengi ketaatan dan berusaha mengamalkan sunnah dan syariat yang diajarakan oleh beliau. Sebaliknya, seorang muslim harusnya menjauhi pergaulan dengan orang-orang yang membawa pada keburukan agar tidak menjerumuskannya ke dalam murka Allah.












BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Mahabbah adalah rasa cinta yang dimiliki oleh seseorang yang diwujudkan melalui kasih sayang dan ketulusan, baik dalam lingkup cinta hamba kepada Tuhannya maupun cinta seseorang terhadap siapa dan apapun, lebih khusus lagi, mahabbah dimaksudkan kepada rasa cinta seorang hamba kepada Tuhan melalui pengabdian dan amal-amal yang mengantarkannya untuk sampai kepada cintanya sang Rabbi. Ajaran mahabbah adalah ajaran yang berdiri di atas dasar dan dalil. Di antaranya adalah surah Al-Baqarah ayat 165, Ali Imran ayat 31, Al-Ma’idah ayat 54 dan beberapa hadits Rasulullah. Hal ini menandakan bahwa ajaran tasawuf dalam Islam memiliki landasan yang kuat dan bukan seperti yang dituduhkan oleh kaum orientalis.
Pada hakikatnya cinta yang ada dalam diri manusia terbagi menjadi 2 yaitu: cinta kategori ubuddiyah/penghambaan kepada Allah (mahabbah lillah), dan cinta kategori selain ubuddiyah. Jika dispesifikkan lagi berdasarkan perkara dan masanya, cinta (mahabbah) juga dapat dikategorikan menjadi dua yaitu cinta dunia (hubbu ad-dunya dan cinta akhirat (hubbu al-akhirah). Dalam Al-Qur’an, cinta dikategorikan menjadi 8 yaitu: mahabbah mawaddah, mahabbah rahmah, mahabbah mail, mahabbah syaghaf, mahabbah ra’fah, mahabbah shobwah, mahabbah syauq (rindu) dan mahabbah kulfah.
Salah satu keagungan memiliki rasa cinta adalah dapat menolong kita ketika di akhirat kelak. Kita mungkin tidak memiliki banyak amal yang menyebabkan rahmat Allah untuk memasukkan kita ke dalam surga, namun dengan adanya rasa cinta kepada Rasulullah, sahabat maupun orang-orang shaleh dapat menolong kita dari kerasnya adzab Allah. Maka kita harus berusaha menanamkan kecintaan kita terhadap Rasulullah, sahabat, maupun orang-orang shaleh sewalaupun kita tidak pernah bertemu dengannya, yaitu dengan melaksanakan sunnah dan syariat yang diajarkan oleh mereka.
B.     Saran
Sebagai manusia biasa kita tentunya memiliki fitrah untuk menyukai atau mencintai sesuatu. Namun, Allah juga menganugerahkan akal dan telah menjelaskan batasan-batasan dalam syariat tentang mana hal yang dapat menjerumuskan ke hal yang baik atau buruk. Maka sebagai calon guru hendaknya kita mengetahui hal-hal tersebut. Semoga dengan adanya makalah ini kita lebih mengetahui tentang hakikat mahabbah yang sebenarnya. Apabila terdapat kekurangan atau kesalahan kami memohon maaf dan kritik dari semua pihak, sehingga makalah ini benar-benar dapat diamalkan isinya.



















DAFTAR PUSTAKA
Artikel: Cintailah Orang-orang Shalih, Engkau akan Bersama Orang-orang yang Engkau Cintai. 2016. Diakses di https://almanhaj.or.id pada Rabu 8 Mei 2019 pukul 06:38
Hamdi, Muhammad. 2018. Cinta dalam Tasawuf. diakses di http://repository.uinib.ac.id/787/4/BAB%20III.pdf . UIN Imam Bonjol Padang, pada Selasa 7 Mei 2019 pukul  07:54
Hermawan, Agus. 2016. Pengantar Akhlak Tasawuf 1. Kudus: Yayasan Hj. Kartini
Isa, Abu. 2019. Faidah Tauhid Cinta: Syarah Kitab Fathul Majid: Tauhid. Diakses di yufid.com pada 19 Maret 2019.
Sugeng dan Evo. 2015. Makalah Ilmu Tasawuf: Mahabbah. Diakses di http://berbagimakalah07.blogspot.com pada Selasa 7 Mei 2019 pukul 09:02
Tuasikal, Muhammad Abduh. 2009. Engkau Harus Mencintai Nabimu. Diakses di https://rumaysho.com pada 7 Mei 2019 pukul 22:43.
Yoka, Muhammad. 2016. Makalah Tentang Mahabbah. diakses http://muhammadyoka.blogspot.com pada selasa 7 Mei 2019 pukul 07:12



[1] Kamus Yunus, Kamus Arab Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1990, hlm. 96. diakses http://muhammadyoka.blogspot.com pada selasa 7 Mei 2019 pukul 07:12
[2] Jamil Shaliba, Al-Mu’jam al-Falsafi Jilid 2, Dar al-Kairo, Mesir, 1978, hlm. 439. diakses http://muhammadyoka.blogspot.com pada selasa 7 Mei 2019 pukul 07:12
[3] Ibid. hlm. 349.
[4] Abuddin Nata, akhlak Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet. Ke-4, 2002, hlm. 208 diakses http://muhammadyoka.blogspot.com pada selasa 7 Mei 2019 pukul 07:12
[5] Op.Cit, hlm. 440.
[6]Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi. al-Jami’as-Shahih al-Mukhtashar. (Beirut:DarIbnuKatsir,1987). Juz 1, hlm.14 diakses di http://repository.uinib.ac.id/787/4/BAB%20III.pdf . UIN Imam Bonjol Padang, pada Selasa 7 Mei 2019 pukul  07:54
[7] Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi. Sahih Muslim. (Beirut:Dar Ihya at-Turats al-Arabi, tt). Juz 1, hlm. 67. diakses di http://repository.uinib.ac.id/787/4/BAB%20III.pdf . UIN Imam Bonjol Padang, pada Selasa 7 Mei 2019 pukul  07:54
[8] Muhammad Hamdi. 2018. Cinta dalam Tasawuf. http://repository.uinib.ac.id/787/4/BAB%20III.pdf  diakses pada Selasa 7 Mei 2019 pukul 08:10 

[9] Abu Isa dalam Faidah Tauhid Cinta. 2019. Syarah Kitab Fathul Majid: Tauhid. Diakses di yufid.com pada 19 Maret 2019.
[10] Agus Hermawan. 2016. Pengantar Akhlak Tasawuf 1. Kudus: Yayasan Hj. Kartini. hlm. 35-36
[11] Sugeng dan Evo. 2015. Makalah Ilmu Tasawuf: Mahabbah. Diakses di http://berbagimakalah07.blogspot.com pada Selasa 7 Mei 2019 pukul 09:02
[12] Muhammad Abduh Tuasikal. 2009. Engkau Harus Mencintai Nabimu. Diakses di https://rumaysho.com pada 7 Mei 2019 pukul 22:43.
[13] Artikel: Cintailah Orang-orang Shalih, Engkau akan Bersama Orang-orang yang Engkau Cintai. 2016. Diakses di https://almanhaj.or.id pada Rabu 8 Mei 2019 pukul 06:38

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Ilmu Dilalah Wal Ma'ajim

Macam-macam Problematika dan Praktik Bimbingan Konseling