Ilmu Badi' : Husnu at Ta'lil
حسن
التعليل
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Badi’
Dosen Pengampu : Dra. Ulfah Susilawati, M.S.I
Disusun oleh:
Miftakhun Nurul Istiqomah (23020170045)
Ayu
Nur Islami (23020170047)
Rika
Fatmawati (23020170049)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2019
A. Definisi Husnu at-Ta’lil (حسن
التعليل)
Husnu at-ta’lil
dalam bahasa Arab terdiri dari dua kata, yaitu kata husnu dan
ta’lil.
Secara leksikal, husnu artinya ‘bagus’, sedangkan ta’lil
artinya ‘alasan’.
Husnu at-ta’lil adalah sebuah konsep keindahan makna dari lafadz-lafadz syair
atau Al-Qur’an. Husnu at-ta’lil ini digunakan oleh para sastrawan untuk mengingkari
secara terang-terangan ataupun secara terpendam sebuah alasan yang telah
dikenal umum oleh banyak orang untuk suatu peristiwa. Di sisi lain sastrawan mendatangkan
alasan baru yang dibuatnya yang bernilai sastra. Alasan ini jika didengar bisa
berupa bahasa yang lembut dan sesuai dengan keinginannya.[1]
Sedangkan
secara terminologis, husnu at-ta’lil menurut para ulama balaghah adalah:
حُسْنُ التَّعْلِيْلِ
أَنْ ينكر ألأديب صراحة أو ضمنا عِلَّة الشيء المعروقة, ويأتي بعلة أدبية طريفة
تناسب الغرض الذي يقصد إليه[2]
“Husnu at-ta’lil adalah seorang
sastrawan, ia mengingkari secara terang-terangan
ataupun terpendam alasan yang telah dikenal umum baik suatu
peristiwa, dan sehubungan dengan itu ia mendatangkan alasan lain yang bernilai
sastra dan lembut yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya.”
Hifny bin Nashif memberikan
definisi Husnu at-ta’lil dengan:
حسن التعليل هو أن يدعى لوصف علة غير
حقيقة فيها غرابه
“Husnu at-ta’lil adalah
mengemukakan alasan sebab terjadinya sesuatu yang tidak sebenarnya bagi suatu
keadaan, yang dalam alasan itu ada keanehan.[3]
Ali Jarim mendefinisikan husnu at-ta’lil adalah
seorang sastrawan mengingkari secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi
terjadi suatu peristiwa yang dikenal oleh masyarakat umum, sehubungan dengan
itu, ia lebih senang mendatangkan alasan lain yang bernilai sastra/estetik
serta sesuai dengan tujuan yang dicapai.[4]
Jadi,
husnu at-ta’lil adalah mengganti alasan yang bermakna umum tentang terjadinya
sesuatu dengan mendatangkan alasan lain yang lebih mengandung unsur keindahan/estetis.
B.
Contoh-contoh Husnu at-Ta’lil (حسن
التعليل)
1.
Al-Ma’ari
berkata dalam sebuah ratapannya:
وما
كلفة البدر المنير قديمة * ولكنها في وجه أثر اللطم
“Bintik-bintik hitam pada bulan purnama yang
bercahaya itu bukan ada sejak dulu. Akan tetapi, pada muka bulan itu ada bekas
tamparannya.”
Dalam syi’ir di
atas penyair ingin mengungkapkan kesedihan yang diderita oleh seseorang yang
ditinggal oleh orang yang dicintainya. Karena sangat sedihnya ia memukul-mukul
wajahnya sehingga tampak bekas tamparan tersebut pada wajahnya.
Pada syi’ir di atas penyair tidak menjelaskan alasan tersebut dengan sebenarnya, akan tetapi dia memalingkan kepada noda hitam yang ada pada bulan. Ia mendakwakan bahwa kekeruhan atau kotoran hitam yang ada pada bulan purnama bukanlah tumbuh dari sebab alami, tetapi terjadi karena bekas tamparan sendiri karena berpisah dengan orang yang ditangisi.[5]
Pada syi’ir di atas penyair tidak menjelaskan alasan tersebut dengan sebenarnya, akan tetapi dia memalingkan kepada noda hitam yang ada pada bulan. Ia mendakwakan bahwa kekeruhan atau kotoran hitam yang ada pada bulan purnama bukanlah tumbuh dari sebab alami, tetapi terjadi karena bekas tamparan sendiri karena berpisah dengan orang yang ditangisi.[5]
2.
Ibnu
ar-Rumi berkata:
أما
ذكاء فلم تصفر إذجنحت * إلا لفرقة ذاك المنظر الحسن
“Adapun matahari yang bercahaya, tidaklah
menguning ketika akan tenggelam. Kecuali karena akan berpisah, dengan orang
yang dipandang baik.”
Dalam contoh di
atas penyair bertujuan menyatakan bahwa matahari tidak menguning dan terbenam
karena sebab-sebab yang telah dikenal, tetapi matahari itu menguning karena
khawatir berpisah dengan wajah orang yang disanjung.[6]
3.
Surah Al-Anfal ayat 17:
فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ قَتَلَهُمْ وَمَا رَمَيْتَ
إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى وَلِيُبْلِيَ الْمُؤْمِنِينَ مِنْهُ بَلاءً
حَسَنًا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh
mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang
melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat
demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada
orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Dari contoh ayat di atas Allah menegaskan bahwa Dialah yang
Maha menciptakan segala perbuatan hamba-Nya dan bahwasanya Dialah yang terpuji
atas segala hal yang datang dari mereka yang berupa kebaikan, karena Dialah
yang memberikan taufik untuk itu dan memberikan pertolongan kepada mereka atas
hal itu. Karena inilah Dia berfirman: “Maka (sebenarnya) bukan kamu yang
membunuh mereka, akan tetapi Allah yang membunuh mereka.” Maksudnya, bukan
karena daya dan kekuatan, mereka bisa membunuh musuh-musuh mereka yang
jumlahnya sangat banyak itu sementara mereka sedikit.[7]
4.
Surah
Ali-Imran ayat 67:
مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ
كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani,
akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan
sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik."
Nabi Ibrahim
sama sekali bukan penganut agama orang-orang Yahudi dan juga orang-orang
Nasrani. Ia jauh dari agama yang tidak benar, menuju kepada agama yang benar
dengan penuh tulus dan tunduk kepada Allah. Ia tidak pernah menyekutukan Allah
dengan apa pun dalam beribadah.[8]
C.
Kesimpulan
Kaidah husnu at-ta’lil adalah sebuah
kaidah tentang bagaimana cara mengutarakan alasan yang baik yang keluar dari
makna umum, di mana dengan alasan ini seorang penyair atau sastrawan bisa
memberikan suatu ungkapan dengan makna yang sangat indah.
DAFTAR PUSTAKA
مصطفى أمين و
على الجارم. البلاغة الواضحة. 1999. لندن: دار المعارف
Alhelya.
2015. Husnu at-Ta’lil. diakses di http://alhelya746.blogspot.com pada
Rabu 4 September 2019 pukul 20:25 WIB
https://bintankcinta.blogspot.com/2011/05/balaghah-husnu-talil-f.html
diakses pada Rabu 4 Sepetember 2019 pukul 20:42 WIB
https://alquranmulia.wordpress.com/2015/08/25/tafsir-ibnu-katsir-surah-al-anfaal-ayat-17-18/
diakses pada Rabu 25 September 2019 pukul 21:33 WIB
https://tafsirq.com/index.php/id/3-ali-imran/ayat-67#tafsir-quraish-shihab
diakses pada Rabu 25 September 2019 pukul 21:37 WIB
[1]diakses
di http://bintankcinta.blogspot.com/2011/05/balaghah-husnu-talil-f.html pada Rabu 4 Sepetember 2019 pukul 20:42 WIB
[3] Alhelya. 2015. Husnu
at-Ta’lil. diakses di http://alhelya746.blogspot.com pada Rabu 4 September
2019 pukul 20:25 WIB
[5] Ibid, Alhelya
[7]
https://alquranmulia.wordpress.com/2015/08/25/tafsir-ibnu-katsir-surah-al-anfaal-ayat-17-18/
diakses pada Rabu 25 September 2019 pukul 21:33 WIB
[8] https://tafsirq.com/index.php/id/3-ali-imran/ayat-67#tafsir-quraish-shihab
diakses pada Rabu 25 September 2019
pukul 21:37 WIB
Komentar
Posting Komentar