Makalah Jurnalistik
Jurnalisme Sastrawi
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu
Jurnalistik
Dosen Pengampu : Herpin Nopiandi Khurosan, S.S., M.A.
Disusun oleh:
Kelompok III
Zainal Arifin
(23020170026)
Shafitri Andriyani (23020170036)
Wahyu Nugraha (23020170042)
Ayu Nur Islami (23020170047)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah
Subhanahu wa Ta’ala, karena dengan
rahmat, karunia, taufik dan hidayah-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah Pengantar Ilmu Jurnalistik tentang “Jurnalisme
Sastrawi” dengan tepat waktu.
Makalah ini berisi tentang konsep dasar
jurnalisme, sejarah jurnalisme, unsur-unsur jurnalisme sastra, dan gaya
penulisan jurnalisme sastra. Makalah ini disusun secara padat dan rinci agar
mudah dipahami. Tidak lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang membantu penyusunan makalah ini, terlebih kepada dosen pengampu mata
kuliah Pengantar Ilmu Jurnalistik, bapak Herpin Nopiandi Khurosan, S.S., M.A.
Dalam penyusunan makalah ini, tentunya masih
terdapat banyak kekurangan, maka dari itu kami sangat mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.
Salatiga, 9 Mei 2019
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
BAB III PENUTUP
BAB
I
PENDAHULUAN
Dunia jurnalistik merupakan salah satu sarana
bagi masyarakat untuk mendapatkan kabar berita atau peristiwa yang realistis
dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Namun, berbeda dengan mereka yang
bekerja di balik jurnalistik, terkadang kesulitan untuk dapat mengabarkan atau
menyampaikan berita kepada khalayak umum. Hal ini terjadi karena adanya intervensi
atau pelarangan dari beberapa pihak atau lembaga. Hal ini pula yang menjadikan
seakan-akan dunia jurnalistik atau pers dibungkam. Keberadaannya dianggap hanya
akan menghancurkan mereka yang berusaha menutupi kecurangannya, menutupi aspek
negatif dan menutupi hal-hal biadab lainnya agar khalayak atau masyarakat luas
tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Maka
dengan kondisi yang demikian, beberapa orang yang tetap ingin menekuni dunia
jurnalistik mengokohkan tekad mereka untuk tetap bisa memberitakan atau
menyampaikan informasi yang sebenarnya terjadi kepada masyarakat luas. Beberapa
di antara mereka memberitakannya dengan sedikit mengaburkan sasaran yang sedang
diberitakan dengan menggunakan bahasa-bahasa yang puitis. Peristiwa ini
diyakini sebagai latar belakang munculnya jurnalisme sastrawi di Indonesia,
sebagaimana yang dilakukan oleh sastrawan Seno Gumira Ajidarma. Penyajian
berita dengan menggunakan bahasa sastra ini
dimaksudkan agar mereka yang berada dibalik kecurangan itu tidak akan
menduga bahwa mereka sedang diberitakan. Di sisi lain juga agar dapat menarik
candu para pembaca.
1.
Apa konsep dasar jurnalistik dan jurnalisme?
2.
Bagaimana sejarah munculnya jurnalisme?
3.
Apa saja unsur-unsur yang terdapat dalam
penyusunan jurnalisme sastrawi?
4.
Bagaimana gaya penulisan jurnalisme sastrawi?
1.
Untuk mengetahui konsep dasar jurnalistik dan
jurnalisme
2.
Untuk mengetahui sejarah munculnya jurnalisme
3.
Untuk mengetahui unsur-unsur dalam penyusunan
jurnalisme sastrawi
4.
Untuk mengetahui gaya penulisan dalam
jurnalisme sastrawi
BAB II
PEMBAHASAN
Kata jurnal berasal dari bahasa Perancis “jounal” yang
berarti catatan harian.[1] Jurnalistik
adalah kata Indonesia yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu jurnalistiek
atau dalam bahasa Inggris “journalism”. Baik jurna–listiek maupun
journalism berasal dari bahasa Latin, yaitu diurnalis, artinya
tiap hari. Sedangkan journal (bahasa Inggris) artinya catatan peristiwa
harian. Dalam ilmu komunikasi, istilah jurnalistik mempunyai arti cara
penyampaian isi pernyataan dengan menggunakan media massa periodik (Soehoet
2002: 5-6). Sementara itu, pendapat lain menguraikan “jurnalisme” sebagai proses
mengumpulkan, menyiapkan, dan menyebarkan berita melalui media massa. Kata
“jurnalisme” sendiri awalnya digunakan untuk laporan yang dimuat dalam media
cetak (Junedhie 1991:113).[2]
Dari makna jurnalistik dan jurnalisme di atas,
dapat disimpulkan bahwa keduanya memiliki makna yang sama, yaitu hal-hal yang
berkaitan dengan berita, mulai dari proses pengumpulan hingga akhirnya dapat
sampai kepada masyarakat luas yang disajikan setiap hari. Hanya saja, kata
jurnalistik masih bersifat umum dan terbatas yaitu semua hal yang berkaitan
dengan kabar berita bisa disebut dengan jurnalistik, sedangkan jurnalisme
cakupannya lebih luas dan jika ingin mengkhususkan kabar dalam suatu topik
pembahasan tertentu maka istilah yang digunakan adalah istilah jurnalisme. Kata
jurnalisme ini dapat disandingkan dengan kata atau suatu topik yang ingin
dibahas, misalnya jurnalisme politik, olahraga, hukum, sains, sastra, dan
lain-lain.
Sementara itu, kata “sastra” menurut KBBI berarti bahasa
(kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa
sehari-hari).[3]
Jurnalisme sastra adalah kegiatan jurnalistik yang membahas pemakaian gaya
penulisan fiksi untuk kepentingan dramatisasi pelaporan dan membuat artikel
jadi memikat. Teknik pelaporan dipenuhi dengan gaya penyajian fiksi yang
memberikan detail-detail potret subyek, yang secara sengaja diserahkan kepada
pembaca untuk dipikirkan, digambarkan dan ditarik kesimpulannya. (Kurnia, 2002:
16-17).[4]
Jadi dapat disimpulkan bahwa jurnalisme sastra adalah pemaparan
kabar berita atau peristiwa dengan menggunakan gaya bahasa yang puitis dan
estetis, yang menghadirkan suasana fiktif (seakan-akan tidak nyata, sekadar
khayalan atau imajinasi), akan tetapi walaupun menggunakan bentuk penyajian
fiktif, pembicaraan di dalamnya tetap mengarah atau menyudut pada kejadian yang
realistis. Penggunaan bahasa sastra dalam penyajian kabar berita pada media
cetak dimaksudkan agar dapat menarik minat masyarakat, sebagai suatu inovasi
dari persaingan media elektronik, dan sebagai penyadur dari ancaman objek yang
sedang dibicarakan ketika persuratkabaran dibungkam. Jurnalisme sastra
seakan-akan menggabungkan dua macam kegiatan yang saling bertolak-belakang.
Jika jurnalisme identik dengan fakta dan kenyataan, maka sebaliknya sastra
adalah bahasa puitis dan estetis yang digunakan untuk menciptakan dramatisasi
yang dapat menguras emosi dan minat para pembaca atau khalayak. Maka dalam
jurnalisme sastra, wartawan/jurnalis dituntut untuk bisa mengolah dan menyusun
seapik mungkin berita fakta yang telah didapatkannya ke dalam sebuah ungkapan
atau sajian yang estetis.
Ada yang berpendapat bahwa Nabi Nuh adalah orang
pertama yang melakukan pencarian dan penyampaian berita.[5]
Hal itu dibuktikan ketika peristiwa banjir bandang yang menimpa Nabi Nuh dan
kaumnya. Setelah sekian lama menetap di bahtera, kaum Nabi Nuh pun mulai
mempertanyakan apakah banjir yang terjadi di negeri tempat mereka tinggal telah
surut atau belum. Maka Nabi Nuh pun mengutus burung dara untuk melihatnya.
Hingga akhirnya burung dara itu kembali dengan membawa ranting pohon zaitun.
Nabi Nuh mengambil kesimpulan bahwa air bah sudah mulai surut, namun seluruh
permukaan bumi masih tertutup air, sehingga burung dara itu pun tidak menemukan
tempat untuk istirahat. Maka kabar dan berita itu pun disampaikan Nabi Nuh
kepada seluruh kaumnya yang ada di bahtera itu. Berdasarkan fakta tersebut,
para ahli sejarah menamakan Nabi Nuh sebagai seorang pencari berita dan penyiar
kabar (wartawan) yang pertama kali di dunia.
Sementara itu,
dalam sejarah Kerajaan Romawi disebutkan bahwa Raja Imam Agung menyuruh orang
membuat catatan tentang segala kejadian penting. Catatan itu dibuat pada annals
(papan tulis yang digantungkan di serambi rumah raja). Catatan pada papan tulis
itu merupakan pemberitahuan bagi setiap orang yang lewat dan memerlukannya.
Pengumuman sejenis itu dilanjutkan oleh Julius Caesar pada zaman kejayaannya.
Julius Caesar mengumumkan berita tentang kejadian sehari-hari,
peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui
rakyatnya, dengan jalan menuliskannya pada papan pengumuman berupa papan tulis
pada masa itu (60 SM). Papan tulis itu dikenal dengan nama acta diurna dan
diletakkan di Forum Romanum (Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum. Isi
acta diurna tersebut setiap orang boleh membacanya, bahkan juga boleh
mengutipnya untuk kemudian disebarluaskan dan dikabarkan ke tempat lain.[6] Hal
inilah yang diyakini sebagai awal-mulanya persuratkabaran atau jurnalisme lahir
dan berkembang.
Astraatmadja (dalam Kurnia, 2002: xxii) menuturkan, jurnalisme
sastra pada awal perkembangannya di Amerika Serikat, hampir setengah abad yang
silam, telah membebaskan media pers cetak dari stagnasi akibat persaingan yang
ketat dengan siaran televisi yang lebih menarik dan lebih hidup. Jurnalisme
kesastraan (literaty journalism) waktu itu memberikan pencerahan kepada
para wartawan, dengan memperkenalkan gaya penulisan bertutur untuk reportase human
interest yang sangat rinci. Dari penjelasan ini dapat diketahui bahwa untuk
bersaing dengan media elektronik yang mengandalkan kecepatan, media cetak harus
bergerak dinamis dan melakukan inovasi, yakni dengan menyuguhkan berita yang
mendalam dengan teknik yang tidak membosankan. Disinilah jurnalisme sastra
turut andil dalam pergerakan inovasi tersebut, yakni menghadirkan teknik
penulisan fiksi untuk menulis laporan berita yang lebih panjang, dalam, dan
menyentuh.[7]
Dunia sastra dan jurnalistik di Indonesia sendiri punya sejarah penting
pada pertengahan tahun 1990-an. Sastrawan Seno Gumira Ajidarma pernah merilis
12 cerpennya dalam sebuah buku kumpulan cerpen “Saksi Mata” yang di dalamnya
mengisahkan pembantaian warga sipil oleh tentara Indonesia di Santa Cruz, Timor
Timor (sekarang Timor Leste). Meski karya cerpennya fiktif, nama diganti, dan
tempat tak disebutkan jelas, Seno mengaku bahwa ia menulis cerpen tersebut
berdasarkan fakta yang terdapat dalam kasus Insiden Dili 12 November 1991. Ia
sendiri memilih mengungkapkan fakta lewat cara demikian setelah majalah “Jakarta
Jakarta” tempatnya bekerja diintervensi rezim Orde Baru sehubungan dengan
pemuatan berita investigasi Insiden Dili dalam edisi nomor282/November 1991.
Dalam pengakuannya, Seno mengungkapkan demikian, “saya melawannya dengan cara
membuat Insiden Dili yang ingin cepat-cepat dilupakan itu menjadi abadi. Ketika
jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.
Karena, jika jurnalisme bersumber dari fakta, maka sastra bersumber dari
kebenaran. Ini membuat saya dengan sengaja mencari segala segi dari Insiden
Dili yang bisa menjadi cerpen-cerpen sebagai suatu cara untuk melawan.” (2005:
40).[8]
Dari uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa
kegiatan kabar-mengabarkan atau jurnalisme telah ada sejak masa Nabi Nuh (sekitar 3993-3043 SM). Prosesnya masih sederhana, yaitu dengan
mengutus burung untuk mencari informasi kemudian hasilnya dikabarkan pada semua
orang yang ada pada saat itu. Hal itu serupa dengan apa yang dilakukan oleh
Raja Julius Caesar yang menuliskan seluruh berita tentang kerajaan dan
peraturan untuk rakyatnya yang dikenal dengan sebutan acta diurnalis. Kemudian,
sejarah jurnalisme sastra di mata dunia berawal dari persaingan antara berita
yang disampaikan di media cetak dan elektronik yang pada saat itu masyarakat
lebih tertarik untuk menyimak berita pada televisi. Di Indonesia sendiri,
jurnalisme sastra dipelopori oleh sastrawan Seno Gumira Ajidarma yang merilis
cerpennya tentang Insiden Dili. Hal itu ia lakukan ketika ia ingin mengabarkannya
secara gamblang, ia justru mendapat intervensi dari rezim orde baru. Dari sini,
kita ketahui bahwa meskipun kabar tersebut termuat dalam cerpen atau karya
sastra yang erat kaitannya dengan fiktif, akan tetapi kejadian yang diceritakan
di dalamnya adalah benar-benar fakta. Pada titik inilah batasan antara fiksi
dengan fakta menjadi kabur. Bahkan bisa dikatakan bahwa eksistensi sastra
berwajah dua. Di satu sisi, ia mesti diposisikan sebagai realitas dunia khayal
yang bernaung dalam unsur-unsur fiksi pembentuknya. Sedangkan pada sisi lain,
ia bisa dianggap layaknya cermin dunia yang mampu mengungkapkan kebenaran yang
terdapat pada dunia nyata. Maka prinsip utama jurnalisme sastra adalah fakta.
Dalam penyajian
kabar yang bersifat sastra, jurnalis tidak sembarangan dalam menyusunnya,
terdapat unsur-unsur yang harus diperhatikan di dalamnya. Tom Wolfe menjelaskan
empat poin penting dalam jurnalisme sastra (Nurudin, 2009: 185-196), antara
lain:
1.
Konstruksi adegan (scene by scene
construction), tulisan merupakan konstruksi adegan per adegan atau gaya
bertutur dengan susunan mirip skenario film. Tujuannya adalah untuk membuat
pembaca memahami perubahan cerita dengan sendirinya, tanpa harus dijelaskan. (Nurudin,
2009: 185).
2.
Dialog (dialogue), dengan membangun
dialog, seorang jurnalis tidak hanya melaporkan kata-kata saja, namun juga
membangun karakter, sekaligus mengikutsertakan pembaca dalam cerita. (Nurudin,
2009: 188).
3.
Sudut pandang orang ketiga (the third person),
daripada sekadar melaporkan kejadian, jurnalis harus dapat menciptakan suasana
dan emosi cerita bagi pembaca. (Nurudin, 2009: 194).
4.
Detail status (status details), jurnalis
harus mampu mencatat rinci segala gerak perilaku, kebiasaan, gaya hidup, gaya
berpakaian, hubungan karakter dan orang sekitarnya. Detail juga diterapkan
ketika menggambarkan suasana tempat, waktu, penampilan seseorang, ataupun
emosi. (Nurudin, 2009: 196).[9]
Jurnalisme
sastra juga didukung dengan unsur 5W+1H sebagai indikator bahwa kabar yang
diceritakan benar-benar realistis. Dengan adanya unsur 5W+1H tersebut maka
pembaca atau khalayak dapat mengetahui siapa pihak yang sedang disorot, kapan peristiwa
itu terjadi, hingga bagaimana kronologis kejadiannya. Jurnalis sastra bisa saja
mengganti nama tokoh dengan tokoh yang lebih familiar yang sesuai dengan watak
tokoh aslinya, sebagaimana yang dilakukan oleh Seno Gumira Ajidarma. Dengan
adanya empat unsur di atas, akan menjadikan pembaca atau khalayak dapat
merenungi, menghayati, dan mencoba berpikir tentang kejadian kabar yang
diceritakan melalui konstruk bahasa sastra, bahasa imajinasi. Berikut ini
adalah contoh kabar jurnalisme sastra:
Riuh gedung itu bergema. Jum’at, 17 Mei 2019
mereka yang disebut santri di pondok pesantren Darul Hikmah Cirebon angkatan
2017 melaksanakan wisuda tahfidz. Di atas panggung sana, telah berdiri sang
teladan bagi semua santri yang bertoga hari itu. Ia tak menyangka, mata yang
dipaksakannya untuk tetap terjaga melantunkan dan memorikannya dalam kalbu dan
pikirannya, terbayar sudah. Rasa malas yang ia penjarakan selama ini, akhirnya
terwujud dengan tercapainya hafalan tiga puluh juz.
“Ini bukanlah akhir dari usaha saya menghafal
Al-Qur’an, wisuda ini menjadi saksi bahwa saya akan berkomitmen untuk menjaga
hafalan saya,”
Terlalu indah untuk diungkapkan, ya dialah
Zainal, santri hafidz tahun ini yang mendapat gelar terbaik sebagai hafidz dan
santri teladan di pondok pesantrennya.
Jalan itu lurus, berangkal batu, pecahan
keramik, kristal semen melapisi permukaannya. Bias cahaya meriah dari papan
reklame dan logo pertokoan memberinya siluet.
Minggu, 20 Mei 2001, pukul 21.00, sebuah taksi
biru merayap disana jarum speedometer-nya menunjuk angka 15 kilometer
per jam. Setelah melampaui satu tikungan dan disambut sorot neon 40 watt,
kendaraan tersebut berhanti.
Tepat di muka pemukiman para pemulung, enam pria
melompat dari dalam taksi, kemudian sibuk menarik tubuh seseorang dari jok
belakang. Kedua kaki dan tangan orang tersebut terikat kawat. Rintihan parau
terdengar lemah dari tenggorokannya.
Ia sekarat.[10]
D.
Gaya Penulisan
Jurnalisme Sastrawi
Dalam tulis-menulis berita banyak dikenal model teras berita. Douglas A.
Anderson dan Bruce D. Itule (1994) pernah memberikan contoh-contoh cara membuka
yang menarik, seperti delayed lead, analogic lead, narrative lead,
descriptive lead, sampai direct address lead yang sangat
cocok untuk membuka berita bergaya jurnalisme sastra.[11]
1.
Delayed
lead adalah pembuka yang menunda tema
untuk memberi pesona lebih pada awal tulisan. Biasanya untuk menyembunyikan
unsur When, agar berita tidak terkesan basi karena kejadiannya sudah berlalu
agak lama, atau kejadiannya sebenarnya kurang begitu penting namun tetap perlu
dibaca karena mengandung pesan tertentu misalnya agar pembaca berhati-hati.
Contoh: “Hampir
semua orang mengenakan seragam putih-hitam. Terlihat di sudut kiri jalan, seseorang
berjalan terengah-engah. Akhirnya ia lega, ia telah sampai di gedung megah tiga
lantai itu. Namun, langkahnya terkaget setelah ia memasuki ruangan itu, ternyata
ruangannya kosong, perkuliahan
dengan Pak Herpin hari ini diliburkan.”
2.
Analogic
lead adalah gaya pembuka feature
yang menganalogikan sosok, perbuatan, atau peristiwa, di dalam feature
dengan karakter, cerita, atau peristiwa lain yang sangat dikenal masyarakat.
Contoh: “Bagai efek kopi sianida. Ayu, mahasiswi itu benar-benar terlelap saat
perkuliahan berlangsung, ia bahkan tak sadar jika perkuliahan telah selesai.
Padahal pagi tadi ia telah minum secangkir good day.”
3.
Narratif lead adalah pembuka dengan gaya naratif (narasi), menjadi salah satu
ragam delayed lead, seperti gaya pembuka cerpen. Contoh: ”Gadis berjilbab hitam
itu melangkah dengan optimis. Usaha giat dan semangat belajarnya bertahun-tahun
belakangan ini menjadi suatu kebanggaan dari apa yang telah diraihnya hari ini.
Dengan cepat ia menghampiri para jajaran berseragam toga. Ya, Shafitri menjadi wisudawati
terbaik pertama dari 2000 mahasiswa IAIN Salatiga tahun 2019 ini. Dengan senyum
sumringahnya, ia menerima ijazah dan penghargaan dari bapak Rektor.”
4.
Descriptive
lead adalah pembuka yang mendeskripsikan
atau menggambarkan keadaan suatu tempat, benda, atau karakter wajah sosok dalam
feature. Dalam hal ini, penulis dapat memakai model deduktif (umum ke
khusus) atau induktif (khusus ke umum), dengan sedikit sentuhan atau susulan
adegan agar lebih hidup.
Contoh
deskripsi deduktif: “Kampus 3 IAIN Salatiga benar-benar serasa surga dunia,
terletak di daerah persawahan dengan pemandangan elok nan indahnya menambah asri
dan kesejukan proses belajar-mengajar. Mahasiswa pun, dapat dengan nyaman
belajar.”
Contoh
deskripsi induktif: “Wahyu cepat-cepat melangkah, kali ini ia menggunakan hem
putih dan jeans hitam yang dimatchingkan dengan sepatu sneakers
hitam, tak lupa pula ia kenakan jam tangan dan topi kesayangannya, ia sadar
jum’at ini ada kuliah pagi dengan dosen jurnalistiknya.”
5.
Direct
address lead adalah gaya
pembuka yang menyapa pembaca secara langsung dengan panggilan Anda. Misalnya, “Jika
Anda menetap di sekitaran kampus 3 IAIN Salatiga, maka jangan harap Anda bisa
menemukan sarana atau fasilitas yang menyediakan kebutuhan Anda dengan mudah,
karena di sini Anda hanya akan disuguhi dengan pemandangan-pemandangan indah
namun jauh dari keramaian dan peradaban yang dapat menyediakan fasilitas umum
seperti bank, minimarket, pasar, kantor pos, rumah sakit, dan lainnya, Anda
harus pergi ke kota jika anda membutuhkan fasilitas tersebut.”
BAB III
PENUTUP
Jurnalisme sastra adalah pemaparan kabar berita atau peristiwa
dengan menggunakan gaya bahasa yang puitis dan estetis, yang menghadirkan
suasana fiktif (seakan-akan tidak nyata, sekadar khayalan atau imajinasi), akan
tetapi walaupun menggunakan bentuk penyajian fiktif, pembicaraan di dalamnya
tetap mengarah atau menyudut pada kejadian yang realistis. Dunia sastra dan jurnalistik di Indonesia sendiri punya sejarah penting
pada pertengahan tahun 1990-an. Sastrawan Seno Gumira Ajidarma pernah merilis
12 cerpennya dalam sebuah buku kumpulan cerpen “Saksi Mata” yang di dalamnya
mengisahkan pembantaian warga sipil oleh tentara Indonesia di Santa Cruz, Timor
Timor (sekarang Timor Leste).
Unsur-unsur dalam penulisan jurnalisme sastra antara lain: konstruksi
adegan (scene by scene construction), dialog (dialogue), sudut
pandang orang ketiga (the third person), dan detail status (status
details). Dalam tulis-menulis
berita banyak dikenal model teras berita. Douglas A. Anderson dan Bruce D.
Itule (1994) pernah memberikan contoh-contoh cara membuka yang menarik, seperti
delayed
lead, analogic lead, narrative lead, descriptive lead, sampai direct
address lead yang sangat cocok untuk membuka berita bergaya
jurnalisme sastra.
Dengan adanya makalah ini diharapkan kita lebih mengetahui tentang
jurnalisme sastra, bagaimana cara menuliskan dan menyampaikannya dengan baik
dan benar sehingga dapat menarik perhatian para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadunyh. Ketika
Jurnalisme Berwajah Sastra. Diakses di
https://steemit.com/indonesia/@ahmadunyh/ketika-jurnalisme-bargaya-sastrawi
Fredericca,
Yolanda http://e-journal.uajy.ac.id/6494/1/jurnal%20ilmiah.pdf: Jurnalisme
Sastra dalam Buku Bre-X
https://kbbi.web.id/sastra
Septiadi,
Anggar. 2015. Laporan Jurnalistik yang Bercerita. Diakses di
https://www.kompasiana.com/anggarseptiadi.
Syaifuddin,
Helmy. Jurnalisme Sastra dan Dakwah Islam: Jurnal
Komunikasi Islam | Volume 04 Nomor 02 Desember 2014
Wahyudin. E-Book
Pengantar Jurnalistik Olahraga.
http://eprints.unm.ac.id/10353/1/Jurnalistik%20Olahraga%20%28Wahyudin%29.pdf
[1] Wahyudin. E-Book
Pengantar Jurnalistik Olahraga. hlm. 3 Diakses di
http://eprints.unm.ac.id/10353/1/Jurnalistik%20Olahraga%20%28Wahyudin%29.pdf
pada Sabtu pukul 22:38
[2]
Soehoet dan Junedhie dalam Jurnalisme Sastra dan Dakwah Islam:
Jurnal Komunikasi Islam | Volume 04 Nomor 02 Desember 2014 oleh
Helmy Syaifuddin. hlm. 200.
[3]
https://kbbi.web.id/sastra diakses Sabtu 11 Mei 2019 pukul 17:24
[4] Kurnia dalam
http://e-journal.uajy.ac.id/6494/1/jurnal%20ilmiah.pdf: Jurnalisme Sastra
dalam Buku Bre-X oleh Yolanda Fredericca
[5]Wahyudin.
E-Book Pengantar Jurnalistik Olahraga. hlm. 5-7 Diakses di
http://eprints.unm.ac.id/10353/1/Jurnalistik%20Olahraga%20%28Wahyudin%29.pdf
pada Sabtu pukul 22:38
[6] Ibid,
hlm. 3
[7] Astraatmadja
dalam jurnal Nurul Komariyah, Penggunaan Unsur Fiksi dalam Buku Jurnalisme
Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Malang: Universitas Negeri
Malang.
[8] Jurnalisme
Sastra dan Dakwah Islam: Jurnal Komunikasi Islam | Volume 04
Nomor 02 Desember 2014 oleh Helmy
Syaifuddin. hlm. 201-203
[9] Nuruddin dalam
Kurnia diakses di http://e-journal.uajy.ac.id/6494/1/jurnal%20ilmiah.pdf: Jurnalisme
Sastra dalam Buku Bre-X oleh Yolanda Fredericca hlm. 3-4
[10] Anggar
Septiadi. 2015. Laporan Jurnalistik yang Bercerita. Diakses di
https://www.kompasiana.com/anggarseptiadi pada Rabu, 15 Mei 2019 pukul 10:46
[11]Ahmadunyh. Ketika
Jurnalisme Berwajah Sastra. Diakses di
https://steemit.com/indonesia/@ahmadunyh/ketika-jurnalisme-bargaya-sastrawi
pada Minggu 12 Mei 2019 pukul 08:57
Komentar
Posting Komentar